Minggu, 11 Maret 2012

Politik Uang Jalan Pintas Merebut Kekuasaan


Oleh : Muchtarudin Gayo*
 Dari Abdullah bin Amar berkata : ( Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah melaknat orang yang menyogok dan disogok ) HR. Kelimanya keculi An-Nasa’i dan At-Tirmidzi mensahihkannya.

 Dari Tsauban berkata : ( Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan )  yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya, HR. Ahmad.
Maraknya praktik politik uang menjelang  pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah, di antaranya terjadi akibat rasa frustasi pemilih dan para Calon Peserta Pilkada (gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota)  terhadap kondisi politik saat ini. Kedua pihak pun memilih cara-cara instan untuk meraih tujuan dan keuntungan masing-masing.
Dalam praktik money politics (politik uang), ada hubungan yang bersifat transaksional pada kedua pihak yang frustasi. Pemilih frustasi karena menganggap siapapun yang terpilih tidak akan berarti banyak bagi nasib mereka, sehingga budaya instan muncul, akan memilih siapa yang mau membeli suaranya.
Calon peserta pilkada pun frustasi karena tidak percaya diri atau tidak dipercaya oleh masyarakat karena jejak rekam masa lalu, apalagi jika si calon tersebut adalah incumbent tentu masih banyak “buku dosa” yang belum terbuka. Akhirnya mereka memilih jalan pintas lewat pola ”beli-putus”. Yaitu, membayar suara pemilih dan merasa kewajiban lepas saat sudah terpilih.
Praktik politik uang, terjadi karena adanya hubungan mutualisme antara pelaku, yaitu calon peserta pilkada, dan rakyat (pemilik hak pilih) secara umum. Bagi politisi, politik uang merupakan media instan untuk mendapat suara konstituen. Sebaliknya, bagi rakyat, politik uang ibarat bonus rutin di masa Pemilukada lima tahunan. Uang atau materi dari politik uang itu dianggap lebih ril bisa dirasakan, dibandingkan misalnya realisasi program-program, visi dan misi calon peserta pilkada atau politisi yang tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat.
Jalan pintas ini adalah bukti belum siapnya politisi, calon peserta pilkada dan Parpol melakukan proses penguatan pengkaderan dan penggalangan basis massa. Dan ini merupakan indikasi gagalnya komunikasi politik antara calon peserta pilkada dengan konstituen.
Politik Uang Virus Demokrasi
Politik uang sejatinya adalah salah satu bentuk virus politik yang cukup ganas. Ia akan membunuh pohon demokrasi hingga ke akar-akarnya. Cepat atau lambat. Kalaupun pada akhirnya pohon demokrasi itu dapat tumbuh besar, ia akan menjadi ancaman bagi tanaman di sekitarnya. Atau, bahkan membunuhnya juga.
Ketika politik uang menjadi senjata para Calon Peserta Pilkada untuk “menipu” masyarakat agar bersimpati dan memilihnya, maka saat itu pula, pesta demokrasi —Pemilukada,  dengan sendirinya telah cacat hukum dan catat moral.
Politik dan uang selalu bergandengan tangan. Dan virus politik uang, sebenarnya sudah berkembang sejak masa Negara Kota (Polis/Politea) di Yunani Kuno. Sejak dipergunakan secara luas sebagai alat tukar dalam peradaban modern, uang telah menjadi tiket politik yang efektif. Jika digunakan dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos atau jalan pintas bagi seseorang untuk memperoleh kekuasaan atau jabatan tertentu.
Praktik politik uang setidaknya bermasalah dalam dua aspek: idealisme demokrasi dan aturan main perundangan dan syariat. Dalam konteks demokratisasi, fenomena politik uang, memiliki sisi berlawanan dengan idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan rasionalitas rakyat sebagai aktor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus langsung, umum, bebas, rahasia dan merdeka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan politik uang. Selain itu, pilihan rakyat juga mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas, bukan alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun bentuknya, mesti tetap dalam idealisme demokrasi.
Pada titik yang kritis ini, yang menguat adalah praktik proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi, dan semakin terpinggirkannya substansi nilai-nilai demokrasi yang mengusung kearifan dan kemanusiaan. Ujung dari politik uang, tentunya demokratisasi tak bertuan. Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung tidak melibatkan kekuatan kemerdekaan rakyat sesungguhnya. Sebab, yang menggerakkan pilihan mereka adalah landasan material/uang.
Di sisi lain, pemerintah yang berkuasa pun tidak memiliki ruang akuntabilitas untuk proses pertanggungjawaban. Karena segalanya telah selesai saat transaksi uang dalam proses pemilihan terjadi. Sehingga tak mengherankan, ketika terjadi tirani kekuasaan oleh negara, maka rakyat tidak memiliki daya resistensi yang cukup kuat. Di sinilah muncul ironi demokrasi. Dari rakyat, tapi bukan oleh rakyat, dan bukan untuk rakyat.
Aspek kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektif yuridis baik hukum positif maupun hukum Syariat sepertiditegaskan dalam hadist, dari Abdullah bin Amar berkata : ( Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya Allah melaknat orang yang menyogok dan disogok ) HR. Kelimanya keculi An-Nasa’i dan At-Tirmidzi mensahihkannya. Dalam riwayat lain,  dari Tsauban berkata : ( Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan )  yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya, HR. Ahmad.
Dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu misalnya, disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. (Pasal 84 ayat 1 huruf J).
Begitu pula dalam UU 32 tahun 2004 pasal 117 ayat 2 tentang Pilkada juga telah diatur larangan politik uang, dengan ancaman pidana penjara dua hingga 12 bulan bagi pelakunya ; Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Benahi Mental
Politik uang, apapun bentuknya, adalah virus pembunuh nomor wahid demokrasi. Kalau virus ini tidak dibasmi, ia akan menggerogoti mental para calon pemimpin, termasuk juga rakyat  pemilih. Cara yang paling efektif untuk bisa kebal dari ancaman virus ini adalah membentengi mental seluruh pihak yang terlibat dalam pentas demokrasi politik.
Para Calon Peserta Pilkada yang biasanya menggunakan politik uang cenderung bermental materi. Baginya, kekuasaan hanya bisa dibeli dengan uang. Jika calon seperti ini nantinya terpilih sebagai pemenang pemilukada, maka hukum ekonomi kapitalis akan berlaku disini, pemimpin tersebut akan mengeruk dan menguras anggaran pembangunan untuk mengembalikan modal yang telah digelontorkan pada saat proses tahapan pilkada berlangsung. Program dan alokasi pembangunan baru berjalan normal pada tahun ke 4-5 pemerintahannya, karena tahapan ini penting untuk ditonjolkan kepada masyarakat sebagai kamuplase untuk melanggengkan kekuasaan untuk kedua kalinya. Sementara bagi pemilih yang menerima uang sebagai kompensasi hak politik yang dimilikinya biasanya bermental pragmatis. Hidup baginya hanya untuk memenuhi kebutuhan perut. Mental seperti inilah yang mesti diprioritaskan utuk dibenahi oleh para cedekiwan, tokoh akademisi, tokoh agama, tokoh politik bersih, LSM, Ormas dan tokoh birokrat/ negarawan bersih.
Oleh sebab itu, Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menvonis bahwa : POLITIK UANG ITU HARAM,  merupakan salah satu jalan menghentikan laju politik uang. Setidaknya, para Calon Peserta Pilkada dan pemilih (rakyat) akan sadar dan memahami, bahwa perbuatannya itu termasuk dosa karena mengandung unsur risywah (suap-menyuap), yang dalam konteks Islam, pelakunya (baik pemberi dan penerima) akan mendapat siksa di akhirat kelak.
Selain membenahi mental, penting kiranya para calon peserta pilkada memiliki strategi berpolitik yang jitu. Para calon peserta pilkada seharusnya tidak bermodal ”tangan kosong” saat terjun ke dunia politik. Mereka wajib memahami strategi politik yang baik dan benar, seperti bagaimana membuat basis politik, menciptakan kader politik yang militan, menyusun program pembangunan yang aplikatif, dan telah menorehkan sejumlah bukti uji kelayakan (jejak rekam) sebagai pemimpin sebelumnya, seperti misalnya telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat pada suatu daerah sehingga daerah tersebut telah secara kongkrit menerima / merasakan manfaat dari program tersebut.
Keharusan seorang calon pemimpin memilki track record yang mumpuni adalah sesuai dengan hadist Rasullullah Saw, “ Barang siapa yang mengangkat (memilih) seorang laki-laki (untuk satu jabatan) berdasarkan sikap pilih kasih (karena uang atau family pen.), padahal ada dikalangan mereka orang yang lebih diridhai Allah darinya, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan  Orang-orang yang beriman.” (HR. Al-Hakim, Suyuthi).
Wallahualam (disarikan dan diolah dari berbagai sumber)
·         Penulis Ketua umum Lsm Generasi Muda Pengawal Amanah Rakyat (LSM Gempar) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar