Oleh : Muchtarudin
Gayo*
Dari Abdullah bin Amar
berkata : ( Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya
Allah melaknat orang yang menyogok dan disogok ) HR. Kelimanya keculi An-Nasa’i
dan At-Tirmidzi mensahihkannya.
Dari Tsauban berkata : ( Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan ) yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya, HR. Ahmad.
Dari Tsauban berkata : ( Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang disuap, dan perantara suapan ) yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya, HR. Ahmad.
Maraknya
praktik politik uang menjelang
pelaksanaan Pilkada di beberapa daerah, di antaranya terjadi akibat rasa
frustasi pemilih dan para Calon Peserta Pilkada (gubernur/wakil gubernur,
bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota)
terhadap kondisi politik saat ini. Kedua pihak pun memilih cara-cara instan
untuk meraih tujuan dan keuntungan masing-masing.
Dalam praktik money politics (politik uang), ada
hubungan yang bersifat transaksional pada kedua pihak yang frustasi. Pemilih
frustasi karena menganggap siapapun yang terpilih tidak akan berarti banyak
bagi nasib mereka, sehingga budaya instan muncul, akan memilih siapa yang mau
membeli suaranya.
Calon peserta pilkada pun frustasi karena tidak
percaya diri atau tidak dipercaya oleh masyarakat karena jejak rekam masa lalu,
apalagi jika si calon tersebut adalah incumbent
tentu masih banyak “buku dosa” yang belum terbuka. Akhirnya mereka memilih
jalan pintas lewat pola ”beli-putus”.
Yaitu, membayar suara pemilih dan merasa kewajiban lepas saat sudah terpilih.
Praktik politik uang, terjadi karena adanya
hubungan mutualisme antara pelaku, yaitu calon peserta pilkada, dan rakyat
(pemilik hak pilih) secara umum. Bagi politisi, politik uang merupakan media
instan untuk mendapat suara konstituen. Sebaliknya, bagi rakyat, politik uang
ibarat bonus rutin di masa Pemilukada lima tahunan. Uang atau materi dari
politik uang itu dianggap lebih ril bisa dirasakan, dibandingkan misalnya
realisasi program-program, visi dan misi calon peserta pilkada atau politisi
yang tidak menyentuh langsung kepentingan masyarakat.
Jalan pintas ini adalah bukti belum siapnya
politisi, calon peserta pilkada dan Parpol melakukan proses penguatan pengkaderan
dan penggalangan basis massa. Dan ini merupakan indikasi gagalnya komunikasi
politik antara calon peserta pilkada dengan konstituen.
Politik
Uang Virus Demokrasi
Politik uang sejatinya adalah salah satu bentuk
virus politik yang cukup ganas. Ia akan membunuh pohon demokrasi hingga ke
akar-akarnya. Cepat atau lambat. Kalaupun pada akhirnya pohon demokrasi itu
dapat tumbuh besar, ia akan menjadi ancaman bagi tanaman di sekitarnya. Atau,
bahkan membunuhnya juga.
Ketika politik uang menjadi senjata para Calon
Peserta Pilkada untuk “menipu”
masyarakat agar bersimpati dan memilihnya, maka saat itu pula, pesta demokrasi
—Pemilukada, dengan sendirinya telah
cacat hukum dan catat moral.
Politik dan uang selalu bergandengan tangan. Dan
virus politik uang, sebenarnya sudah berkembang sejak masa Negara Kota (Polis/Politea)
di Yunani Kuno. Sejak dipergunakan secara luas sebagai alat tukar dalam
peradaban modern, uang telah menjadi tiket politik yang efektif. Jika digunakan
dengan cerdas, ia bisa menjadi ongkos atau jalan pintas bagi seseorang untuk
memperoleh kekuasaan atau jabatan tertentu.
Praktik politik uang setidaknya bermasalah dalam
dua aspek: idealisme demokrasi dan aturan main perundangan dan syariat. Dalam
konteks demokratisasi, fenomena politik uang, memiliki sisi berlawanan dengan
idealisme demokrasi. Dinamika demokratisasi menghendaki adanya kemandirian dan
rasionalitas rakyat sebagai aktor utama demokrasi. Pilihan rakyat dalam berdemokrasi harus langsung, umum, bebas, rahasia
dan merdeka dari tekanan dan intimidasi termasuk tekanan politik uang. Selain
itu, pilihan rakyat juga mesti berdasarkan pertimbangan rasionalitas, bukan
alasan yang bersifat pragmatis. Perebutan kekuasan politik seperti apapun
bentuknya, mesti tetap dalam idealisme demokrasi.
Pada titik yang kritis ini, yang menguat adalah
praktik proseduralisme demokrasi yang berbiaya tinggi, dan semakin
terpinggirkannya substansi nilai-nilai demokrasi yang mengusung kearifan dan
kemanusiaan. Ujung dari politik uang, tentunya demokratisasi tak bertuan.
Mengapa? Karena agregasi kekuasaan yang berlangsung tidak melibatkan kekuatan
kemerdekaan rakyat sesungguhnya. Sebab, yang menggerakkan pilihan mereka adalah
landasan material/uang.
Di sisi lain, pemerintah yang berkuasa pun tidak
memiliki ruang akuntabilitas untuk proses pertanggungjawaban. Karena segalanya
telah selesai saat transaksi uang dalam proses pemilihan terjadi. Sehingga tak
mengherankan, ketika terjadi tirani kekuasaan oleh negara, maka rakyat tidak
memiliki daya resistensi yang cukup kuat.
Di sinilah muncul ironi demokrasi. Dari rakyat, tapi bukan oleh rakyat, dan
bukan untuk rakyat.
Aspek
kedua, politik uang juga bermasalah dalam perspektif yuridis baik hukum positif
maupun hukum Syariat sepertiditegaskan dalam hadist, dari Abdullah bin Amar berkata :
( Rasulullah saw bersabda : sesungguhnya Allah melaknat orang yang menyogok dan
disogok ) HR. Kelimanya keculi An-Nasa’i dan At-Tirmidzi mensahihkannya. Dalam
riwayat lain, dari Tsauban berkata : ( Rasulullah saw melaknat orang yang
menyuap, yang disuap, dan perantara suapan )
yakni orang yang memberikan jalan atas keduanya, HR. Ahmad.
Dalam UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu
misalnya, disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang
menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
(Pasal 84 ayat 1 huruf J).
Begitu pula dalam UU 32 tahun 2004 pasal 117 ayat
2 tentang Pilkada juga telah diatur larangan politik uang, dengan ancaman
pidana penjara dua hingga 12 bulan bagi pelakunya ; Setiap orang yang dengan sengaja
memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak
menggunakan hak pilihnya, atau memilih pasangan calon tertentu, atau
menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi
tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Benahi
Mental
Politik
uang, apapun bentuknya, adalah virus pembunuh nomor wahid demokrasi. Kalau
virus ini tidak dibasmi, ia akan menggerogoti mental para calon pemimpin,
termasuk juga rakyat pemilih. Cara yang
paling efektif untuk bisa kebal dari ancaman virus ini adalah membentengi
mental seluruh pihak yang terlibat dalam pentas demokrasi politik.
Para Calon Peserta Pilkada yang biasanya
menggunakan politik uang cenderung bermental
materi. Baginya, kekuasaan hanya bisa dibeli dengan uang. Jika calon
seperti ini nantinya terpilih sebagai pemenang pemilukada, maka hukum ekonomi
kapitalis akan berlaku disini, pemimpin tersebut akan mengeruk dan menguras
anggaran pembangunan untuk mengembalikan modal yang telah digelontorkan pada
saat proses tahapan pilkada berlangsung. Program dan alokasi pembangunan baru
berjalan normal pada tahun ke 4-5 pemerintahannya, karena tahapan ini penting
untuk ditonjolkan kepada masyarakat sebagai kamuplase untuk melanggengkan
kekuasaan untuk kedua kalinya. Sementara bagi pemilih yang menerima uang
sebagai kompensasi hak politik yang dimilikinya biasanya bermental pragmatis. Hidup baginya hanya untuk memenuhi kebutuhan
perut. Mental seperti inilah yang mesti diprioritaskan utuk dibenahi oleh para
cedekiwan, tokoh akademisi, tokoh agama, tokoh politik bersih, LSM, Ormas dan
tokoh birokrat/ negarawan bersih.
Oleh sebab itu, Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama
(PWNU) Jawa Tengah menvonis bahwa : POLITIK
UANG ITU HARAM, merupakan salah satu
jalan menghentikan laju politik uang. Setidaknya, para Calon Peserta Pilkada
dan pemilih (rakyat) akan sadar dan memahami, bahwa perbuatannya itu termasuk dosa karena mengandung unsur risywah (suap-menyuap), yang dalam konteks
Islam, pelakunya (baik pemberi dan penerima) akan mendapat siksa di akhirat
kelak.
Selain membenahi mental, penting kiranya para
calon peserta pilkada memiliki strategi berpolitik yang jitu. Para calon
peserta pilkada seharusnya tidak bermodal ”tangan kosong” saat terjun ke dunia
politik. Mereka wajib memahami strategi politik yang baik dan benar, seperti
bagaimana membuat basis politik, menciptakan kader politik yang militan,
menyusun program pembangunan yang aplikatif, dan telah menorehkan sejumlah
bukti uji kelayakan (jejak rekam) sebagai pemimpin sebelumnya, seperti misalnya
telah melaksanakan program pemberdayaan masyarakat pada suatu daerah sehingga
daerah tersebut telah secara kongkrit menerima / merasakan manfaat dari program
tersebut.
Keharusan
seorang calon pemimpin memilki track
record yang mumpuni adalah sesuai dengan hadist Rasullullah Saw, “ Barang siapa yang mengangkat (memilih)
seorang laki-laki (untuk satu jabatan) berdasarkan sikap pilih kasih (karena
uang atau family pen.), padahal ada dikalangan mereka orang yang lebih diridhai
Allah darinya, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya
dan Orang-orang yang beriman.” (HR.
Al-Hakim, Suyuthi).
Wallahualam
(disarikan dan diolah dari berbagai sumber)
·
Penulis
Ketua umum Lsm Generasi Muda Pengawal Amanah Rakyat (LSM Gempar) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar